Melankolia Perjanjian Helsinki
Malam jum’at di sudut Kota Yogyakarta, bercengkerama
dengan beberapa mahasiswa daerah se-nusantara dengan tema yang tak tahu arah
tujuan utamanya. Banyak persoalan menarik yang dibahas pada malam itu, diantaranya:
Sosial-budaya, politik keamanan, hukum, ekonomi dan lain-lain. Diskusi berjalan
sesuai dengan arahan pembicaranya (baca: mahasiswa), beberapa diantara mereka
memang memiliki latar belakang keilmuan yang berkaitan dengan tema-tema yang
dibahas. Yang paling ‘panas’ jelas, tema
“Aceh, GAM dan Perjanjian Helsinki”
yang dibahas dengan kreatifitas tanpa batas bersama kopi hitam pahit yang
panas. Aku pun tidak bisa tidur karena kepala terus berontak, seperti ada yang
mendesak untuk segera ditumpahkan menjadi sebuah tulisan, saat ini juga.
Sebelum masuk pada pembahasan ‘kebercengkeramaan’ semalam,
permasalahan asrama yang dihadapi oleh kawan-kawan Aceh menjadi ‘Appetizer’ atau pembuka dialog kami
malam itu. Adanya gugatan yang dilayangkan oleh seseorang membuat beberapa
mahasiswa Aceh menjadi pusing tak tertahankan, mengapa bisa terjadi? Karena asrama
sebagai tempat tinggal mereka, terancam dipindahtangankan kepada orang yang ‘merasa’
memiliki wewenang atas bangunan tersebut. Terluka
dihati.
Kembali kepada pembahasan tema utama malam itu,
seorang kawan kami dari mahasiswa Aceh begitu membara penuh semangat yang
menyala-nyala tatkala menyampaikan isi ‘lubuk hati paling dalam’ mengenai drama
penuh derita peristiwa Aceh di Barat nusantara sana. GAM, Aceh, tanah merdeka, (Presiden
Finlandia) Martti Ahtisaari, Perjanjian Helsinki, tsunami dan KKR (Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi) menjadi bumbu-bumbu sedap yang begitu nikmat sekali
bagi siapapun yang membahas dan mendengar pada malam itu. Saya sendiri sebagai
mahasiswa Hubungan Internasional sangat menikmati, meski ‘jujur’ banyak yang
belum terlalu saya ketahui berkenaan dengan hal tersebut. Apalagi soal KKR,
salah satu poin dalam perjanjian Helsinki yang begitu membuat leherku sedikit ‘gatal’.
KKR atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan salah satu poin yang termaktub dalam
perjanjian Helsinki tersebut. Tugas, pokok dan fungsi dari KKR sebagai pengadilan
Hak Asasi Manusia bagi masyarakat sipil di provinsi yang katanya, abang sebut
saja Romy – dari Aceh – itu, bukan lagi provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Sempat terkejut mendengarnya,
dan juga sedikit kecewa padahal kalau diucap kesannya lebih menarik ketimbang
Aceh tok’. Akan tetapi, isi perjanjian yang begitu penting sebenarnya bagi
masyarakat sipil Aceh ini, hingga sekarang pun belum juga berhasil terbentuk. Alhasil,
bang Romy terlihat begitu ‘sedikit’ tertekan tatkala menyampaikan ketidakadilan
yang terjadi disana, ketika beberapa sanak keluarganya hilang tak diketahui
dimana keberadaannya.
Melankolia
perjanjian Helsinki, keheningan dalam ketidaktahuanmu. Teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar