.

.

Senin, 07 Mei 2018

ANTARA PRASANGKA, DILAN DAN MILEA



Ada yang bilang, bulan Februari lalu adalah bulannya Dilan dan Milea. Kisah cinta mereka yang diangkat ke layar lebar sukses membuat baper siapapun yang menonton kemesraan yang begitu intim tapi lucu diantara keduanya. Fakta yang cukup mencengangkan pun berhasil tercatat dalam sejarah perfilman Indonesia, tatkala Film Dilan 1990 berhasil meraih 6.001.000 penonton pada hari ke-30 penayangannya. Kerennn kan, hehehe.
foto: hype.idntimes.com
Akan tetapi, dibalik kisah cinta khas remaja yang begitu lucu, menggemaskan, yang bikin kita cekikikan diantara mereka itu ternyata berakhir tragis (maaf spoiler hehehe). Tahukah kalian bahwa kisah cinta Dilan dan Milea putus di tengah jalan? Ya. Akibatnya, tidak ada lagi Jalan Dilan-Milea, tidak ada lagi ramal-ramalan, tidak ada lagi hadiah TTS yang sudah dijawab, tidak ada lagi deklarasi pacaran yang ditandatangani di atas materai dan tidak ada lagi rindu itu berat. Semuanya sirna, selesai sudah. Tidak ada lagi Dilan dan Milea, semua musnah karena PRASANGKA.

Loh, kok Prasangka? Iya, Prasangka. Dilan menjelaskan kronologi bagaimana cerita lengkap berakhirnya hubungannya dengan Milea dalam buku ke-3 berjudul “Milea: Suara dari Dilan” yang tentu saja ditulis oleh kakanda kita tercinta, Pidi Baiq.
foto: viva.co.id
Bicara tentang prasangka, Dilan berujar bahwa, “Aku tidak yakin siapa yang salah. Bisa jadi dua-duanya, tetapi ini mengingatkan aku pada apa yang dikatakan bahwa prasangka memang selalu akan menjadi beban yang membingungkan dan mengancam masa depan untuk membuat semuanya berjalan kacau. Prasangka betul-betul bisa memengaruhi keyakinan. Memengaruhi persepsi dan menimbulkan pikiran negatif yang aku dan Lia alami”. (Milea – Suara Dari Dilan, Hal. 216)

Begitu serius dan dalam Dilan mengelaborasi perenungannya atas prasangka yang telah terjadi padanya waktu itu. Setidaknya terdapat 2 poin yang ingin disampaikannya kepada kita. Pertama, prasangka akan selalu menjadi beban yang bisa mengancam masa depan. Kedua, prasangka ‘mampu’ memengaruhi keyakinan.
Aku pikir, kita dapat mengambil pelajaran yang begitu berharga soal prasangka dari kisah kasih Dilan dan Milea. Dalam situasi dan kondisi yang lebih besar, prasangka tidak hanya memengaruhi keyakinan. Lebih jauh, prasangka bisa saja menjadi sebab timbulnya perang yang tak berkesudahan.
Maka dari itu, ayo kita singkirkan jauh-jauh kebiasaan prasangka dari diri kita. Bukankah Tuhan sudah berseru dalam Q.S. Al-Hujurat (49): 2, agar kita menjauhi kebanyakan berprasangka? So, Salam Keluarga yang berwibawa dan bersahaja, Mari Bergembira!

Rabu, 27 Desember 2017

Mencintai Dengan Sungguh, Kenapa Mengkhianati

Mencintai Dengan Sungguh, Kenapa Mengkhianatinya

“Bang, semisal abang dapat cewe yang lebih baik daripada saya, saya juga ndapapa bang kalau abang milih dia. Asalkan abang bilang aja sama saya secara jujur yaa.” – Pesan di Line
-------------------------
Malam itu aku kaget ketika mendapatkan sebuah pesan yang menurutku cukup membebani hati bagi siapa saja yang sedang meraba-raba soal cinta dan rasa. Kagetku bukan kesal, bukan juga marah dan bukan pula gugup karena bingung bagaimana harus meresponnya. Yang kulakukan pada saat itu, ya, membaca ulang kembali pesan panjangnya untuk memahami apakah ada pesan tersirat yang ingin disampaikannya.

Sebagai informasi untuk teman-teman semua, sepanjang umur hidup di dunia saya tidak pernah merasakan perasaan yang sungguh-sungguh dalam kepada seorang wanita, kuakui memang ya, aku pernah mengagumi beberapa wanita yang ku jumpa, senang juga iya. Akan tetapi, kalau cinta sungguh-sungguh, aku berani bersumpah kalau kepada-nya lah yang pertama (kuharap juga terakhir).
Setelah 2 sampai 3 kali membaca ulang pesan panjangnya, aku rasa, jaraklah yang membuat kalimat-kalimat yang tersusun dari kata per kata penuh rasa berat kemudian diketik oleh dirinya. Ya tidak masalah lah, yang penting untuk sekarang dan nanti, tidak ada niat ku untuk berkhianat, tidak ada niat ku untuk mendapatkan cewe’ lagi. Aku harap dirinya membaca tulisan ku ini, ahh ndak, langsung saja ku posting ke Akun Line-nya. Hahahaha.

Lukisan Hujan pernah menuliskan satu kalimat yang cocok untuk menjawab pesan yang kau kirimkan kepadaku adinda, ia bilang “Kalau diberi kesempatan untuk mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh, kenapa harus mengkhianatinya”.


Semoga membantu merawat hatimu ya adinda…

Selasa, 26 Desember 2017

– Smile, you don’t own all the problems in the world –


Senyumlah kawan, jangan bikin semua beban masalah di dunia ini menjadi milikmu sendiri, senyumlah

Beberapa pekan yang lalu ketika saya masih berada di Yogyakarta, tepatnya malam Kamis dan tanggalnya saya tidak tahu, saya pergi mengikuti Kajian Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman, Demangan. Tema Kajian yang diangkat pada malam itu adalah Wisdom – Kebijaksanaan. Sedari awal hingga pada akhir kajian semuanya menjelaskan tentang kebijaksanaan, ya memang karena temanya tentang kebijaksanaan. Hingga pada akhirnya saya pun tertarik untuk berbagi cerita kepada teman-teman semua tentang salah satu nilai kebijaksanaan yang dibagi pada kajian. Yaitu tentang permasalahan.

Setiap hari, sepertinya kita tidak bisa dilepaskan oleh permasalahan, masalah akan selalu hadir di setiap detik kehidupan. Bagaikan sebuah keniscayaan, masalah mungkin memang dicipatakan Tuhan untuk kehidupan, tinggal bagaimana kita yang hidup sebagai manusia menyikapi berbagai permasalahan tersebut. Tidak bisa saya pungkiri memang, sebagai pribadi saya acapkali terbebani oleh permasalahan. “Permasalahan sangat menakutkan”, begitulah gumamku dalam pikiran.

Sebagai seorang mahasiswa waktu itu, masalah muncul, datang dan timbul silih berganti menghampiriku. Tugas kuliah, amanah menjadi Kepala Madrasah, tanggungjawab di organisasi mahasiswa daerah, asrama dan sebagainya, begitu menumpuk membebani pikiranku. Ditambah lagi, berbagai permasalahan pribadi yang kerap timbul dengan teman-teman organisasi, membuat beban yang menumpuk tidak hanya membebani pikiranku, namun merusak juga hatiku. Saya sering berkesimpulan bahwa masalah yang selalu hadir itu, selalu juga membebani, namun dilain sisi dari hati ini, ingin rasanya menyelesaikan atau melibatkan diri terhadap semua masalah yang hadir menghampiri. Mungkin saya terlalu baik waktu itu.

Ya, saya selalu berusaha menyelesaikan semua permasalahan disekitarku. Permasalahan sendiri, organisasi bahkan masalah orang lain juga saya usahakan untuk menyelesaikannya, hingga pada akhirnya senyum di wajah pun hilang oleh sebab hal (baca: masalah) itu membebani pikiran dan perasaanku. Goblok memang, tapi ya itulah yang terjadi pada saya ketika menjadi mahasiswa dulu. (Sekarang saya sarjana ya, hahahaha) – out of context.

Pada kajian waktu itu saya belajar satu hal yang sangat penting terkait bagaimana seharusnya kita menyikapi permasalahan. Harus kuakui memang masalah kadang-kadang suka membebani, menakutkan dan bahkan membaut kita menjadi malas menghadapi. Kita tidak boleh lari, karena masalah merupakan keniscayaan yang ‘mungkin’ memang diciptakan oleh Tuhan. Jadi, poin sebenarnya yang saya ambil dari cerita panjang diatas adalah tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi. Karena masalah bukan menjadi milikmu sendiri.

  –  Smile, you don’t own all the problems in the world
Senyumlah kawan, jangan bikin semua beban masalah di dunia ini menjadi milikmu sendiri, senyumlah