Disekuilibrium, Membuang sampah di Laut dan Adipura Penajam Paser Utara
Alam. Tanah beserta
unsur biota yang ada di dalamnya dianggap sebatas properti. Tidak memiliki
nilai intrinsik, ia hanya relevan dalam kegunaannya bagi manusia. – Saras Dewi
Beberapa hari yang lalu saya bersenda gurau sembari
mengenang beberapa memori masa kecil bersama bapak tercinta di salah satu sudut
pelabuhan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Bernostalgia membuat pikiran
terasa bahagia, ditengah-tengah riuhnya suara kapal kelotok yang silih berganti
berlayar melewati lautan yang ada di depan pandangan kami. Kata nyaman
mungkin bisa dijadikan sebagai gambaran yang kurasakan melihat teduh
dan harmonisme alam di Pelabuhan Batu, Penajam.
Ramai biota dan spesies makhluk hidup yang mendiami lautan
menjadi keasyikan tersendiri bagi mata kami. Sekali lagi, eksistensi ‘mereka’
di dunia ini membuat siapapun yang memiliki hati melihatnya pasti terpesona.
Akan tetapi, bak koin yang memiliki dua sisi yang berbeda, Alam beserta isinya
adalah penyebab kebahagiaan dan kecemasan bagi umat manusia. Tak bisa
dipungkiri alam adalah enigma (baca: teka-teki) bagi umat manusia. Dalam kata
sederhana, manusia terpesona dengan keagungan dan keindahan alam, sayangnya
disatu sisi mereka menyerang ke-terpesona-an dari alam itu sendiri demi sekedar meraih keuntungan
individu.
Argumentasi diatas aku dapatkan tatkala berhasil membaca
buku Saras Dewi yang berjudul “Ekofenomenologi:
Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam”. Kenapa bisa seperti
itu, argumentasi diatas sebenarnya juga berangkat dari penyesalanku terhadap
sebuah fenomena yang mendarah daging dilakukan oleh masyarakat di lingkunganku,
termasuk keluargaku. Bagaimana tidak, setiap pagi hari dan sore hari masyarakat
Pelabuhan Batu di Kabupaten PPU selalu membuang sampah rumah tangga mereka ke
lautan Pelabuhan Batu Penajam. Sungguh, ‘katakanlah’ kebiasaan diatas begitu
jelas menggambarkan betapa egoisnya umat manusia terhadap dunia sendiri yang
ditempatinya.
Tujuan dari tulisan ini sebenarnya mengarah pada kritik
seorang “anak laut” yang tinggal di pinggir laut kepada seluruh masyarakat yang
menetap di sekitar lingkungan laut. Kebiasaan berperilaku membuang sampah ke
lautan (dibaca: alam) tersebut, betul-betul merusak ekosistem laut dan tentu saja
menyebabkan ketidakseimbangan yang mengarah pada disharmoni 2 entitas tertinggi
kehidupan makhluk hidup . Lebih jauh lagi, disharmoni terjadi lantaran adanya
diskoneksi relasi manusia dengan alam.
Terlepas dari paragraf pembuka yang konteksnya lebih kepada
nostalgia. Mari, kita jaga dan mari kita bangun hubungan baik dengan alam
Kabupaten Penajam Paser Utara. Tentu saja, demi MASA DEPAN anak-anak Kabupaten
Penajam Paser Utara itu sendiri. Selamat karena telah berhasil meraih
penghargaan Adipura, Kabupatenku.
Sumber: Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam
Hay akang Bibi, baru tau kalo (sebagian) masyarakat PPU membuang sampah ke lautan, sungguh teramat disayangkan. Sudah disediakan tempat pembuangan tetapi masih diabaikan, hanya bisa berharap semoga sampah yang dibuang tersebut tidak membunuh makhluk hidup yang berada di laut.
BalasHapusTulisannya benar-benar bagus!!!! Semoga warga PPU meluangkan waktu untuk membaca tulisan yang sangat fungsional ini.
Salam damai neng Aa, senang melihat komentar terhangat dari neng malam hari ini. Ya, semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya. Termasuk kita berdua didalamnya. hihih :D
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusdari perspektif ekonomi bisa jadi sdh membudaya di daerah tersebut, hanya saja elemen masyarakat dan elemen pemda tidak mau serius dlm pengatasi masalah tersebut. luang kan lah waktu mu wahaai anak muda untuk bersosialisasi masalah sampah dan limbah agar masyarakat sadar bahwa ekosistem perlu keseimbangan yg bersinambung... agar kelak anak cucu PPU bisa menikmati jernihnya air laut PPU... broovo cess
BalasHapus